Rabu, 17 Oktober 2018

KELOMPOK I MAKALAH AFLATOKSIN


Tugas Makalah Teknik Penyimpanan dan Penggudangan


AFLATOKSIN

DISUSUN OLEH KELOMPOK I :
           DINO SETYADI                               (1405106010063)
           MUTIA RIZKY ISKANDAR         (1505106010001)
           CUT KEKE                                       (1505106010003)
           NOVI DIANA                                   (1505106010013)
           RATIH ANGGRAINI                      (1505106010015)

KELAS : 01 (SATU)
DOSEN PEMBIMBING : BAMBANG SUKARNO PUTRA S.TP, M.Si






PROGRAM STUDI TEKNIK PERTANIAN
FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SYIAH KUALA
DARUSSALAM BANDA ACEH
2018



DAFTAR ISI
DAFTAR ISI....................................................................................................... i
KATA PENGANTAR....................................................................................... ii
BAB I. PENDAHULUAN.................................................................................. 1
1.1     Latar Belakang ..................................................................................... 1
1.2     Rumusan Masalah................................................................................ 2
1.3     Tujuan Penulisan.................................................................................. 2
1.4     Manfaat Penulisan................................................................................ 2
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA...................................................................... 3
BAB III. PEMBAHASAN.................................................................................. 4
3.1.   Morfologi Jamur Penghasil Senyawa Aflatoksin............................... 4
3.2.   Aflatoksin............................................................................................... 5
3.2.1. Sejarah Aflatoksin...................................................................... 5
3.2.2. Sifat dan Karakteristik Aflatoksin............................................ 5
3.3. Keberadaan Aflatoksin Pada Pangan dan Ternak............................ 7
3.4. Efek Aflatoksin...................................................................................... 8
3.4.1.  Efek Aflatoksin Terhadap Kesehatan Manusia...................... 8
3.4.2. Aflatoksikosis............................................................................... 9
3.4.3. Efek Aflatoksin Bagi Ternak..................................................... 11
3.5. Upaya Pencegahan Aflatoksin............................................................. 11
3.6. Upaya Mendiagnosis Aflatoksin.......................................................... 12
3.6.1. Teknologi Deteksi Aflatoksin..................................................... 12
3.6.2. Teknologi Dekontaminasi........................................................... 13
3.7. Langkah Penanganan........................................................................... 15

BAB IV. SIMPULAN......................................................................................... 16
4.1.   Kesimpulan.................................................................................. 16
4.2.   Saran............................................................................................. 16
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................... 17




KATA PENGANTAR

Puji dan syukur yang tak terhingga penulis panjatkan kehadirat Illahi Rabbi, atas berkah, rahmat, karunia dan hidayah-Nya akhirnya penulis dapat menyelesaikan makalah  ini.
Adapun tujuan disusunnya makalah ini ialah sebagai salah satu agenda kegiatan akademis yang harus ditempuh oleh setiap mahasiswa dalam menyelesaikan studi di tingkat perkuliahan semester VII, adapun judul dari makalah  ini adalah “Aflatoksin”.
Dalam proses penyusunan makalah ini, penulis banyak mendapatkan bantuan, dukungan, serta do’a dari berbagai pihak, oleh karena itu izinkanlah di dalam kesempatan ini penulis menghaturkan terima kasih dengan penuh rasa hormat serta dengan segala ketulusan hati kepada :
      1.            Kedua orang tua, atas curahan kasih sayang yang tiada henti, yang senantiasa mendukung secara moril & materil serta yang selalu mendo’akan penulis di dalam menempuh pendidikan ini.
      2.            Bapak Bambang Sukarno Putra, S.TP, M.Si selaku dosen mata kuliah teknik penyimpanan dan penggudangan yang dengan segala keikhlasannya telah memberikan bimbingan, arahan, serta nasehat kepada penulis hingga terselesaikannya makalah  ini.
      3.            Teman-teman seperjuangan khususnya Kelas 01 yang senantiasa memberi masukan hingga terselesaikannya makalah ini.
Sangatlah disadari bahwa makalah ini masih banyak kekurangan didalam penyusunannya dan jauh dari kesempurnaan, untuk itu penulis mengharapkan saran maupun kritik yang kiranya dapat membangun dari para pembaca. Akhir kata semoga makalah ini dapat memberikan manfaat khususnya bagi kita semua. Amin Ya Rabbal ‘Alamin.

       Banda Aceh, 10 Oktober 2018


 Penyusun


BAB I. PENDAHULUAN

1.1.             Latar Belakang
Kontaminasi aflatoksin pada komoditi pertanian merupakan kendala terbesar bagi perkembangan pertanian dan peternakan di Indonesia. Hal ini disebabkan oleh kondisi iklim dan lingkungan Indonesia yang tropis merupakan kondisi ideal bagi pertumbuhan kapang Aspergillus spp. sebagai kapang penghasil aflatoksin. Aflatoksin juga sangat berkaitan dengan keamanan pangan akibat kontaminasinya pada bahan pangan atau pakan.
Aflatoksin merupakan produk metabolik sekunder yang terbentuk setelah fase logaritmik pertumbuhan kapang Aspergillus flavus dan Aspergillus parasiticus (Heathcote 1984).
Aspergillus flavus banyak ditemukan pada bahan pangan dan pakan di Indonesia yang berbasis pertanian. Jagung dan kacang tanah contohnya, merupakan media yang potensial untuk pertumbuhan kapang Aspergillus flavus. Kandungan aflatoksin pada bahan baku sangat mempengaruhi kualitas bahan pangan atau pakan. Semakin tinggi aflatoksin dalam bahan baku maka semakin tinggi pula kandungan aflatoksin pada pangan atau pakan jadi, yang berkorelasi dengan menurunnya kualitas pangan atau pakan. Kontaminasi aflatoksin yang melebihi batas ambang maksimum yang ditetapkan dalam dunia perdagangan menyebabkan banyak komoditi pertanian tidak layak diperdagangkan. Hal tersebut mengakibatkan kerugian yang besar terhadap perekonomian suatu negara secara luas.
Di dalam Reddy dan Wiliyar (2000), FAO memperkirakan 25% bahan pangan yang berasal dari komoditas pertanian terinfeksi aflatoksin setiap tahunnya. Kerugian yang sangat besar harus dialami oleh negara-negara maju maupun berkembang. Kerugian ekonomi yang disebabkan oleh kontaminasi aflatoksin di Asia mencapai 400 juta dolar per tahun (Zanelli 2000), di Amerika mencapai lebih dari 100 juta dolar per tahun (Reddy dan Wiliyar 2000), dan di Australia mencapai 10 juta dolar per tahun (Pitt dan Hocking 1997).
Di samping dampak ekonomi yang dihasilkan, dampak yang tidak kalah pentingnya adalah dampak kesehatan manusia dan hewan ternak. Kontaminasi aflatoksin pada bahan pangan dan pakan dapat menghasilkan residu dalam tubuh yang mengakibatkan keracunan pada manusia dan hewan ternak. Hal ini tidak sesuai dengan fungsi dan hakekat dari pangan dan pakan yakni memenuhi nilai gizi serta meningkatkan kesehatan. Kontaminasi aflatoksin dalam tubuh dapat menyebabkan radang hati, kelesuan, hepatitis, dan kematian (Siregar 1986). Pitt dan Hocking (1997) memperkirakan terdapat 20.000 kematian penderita kanker hati di Indonesia setiap tahunnya disebabkan oleh kontaminasi aflatoksin.
Aflatoksin dikategorikan sebagai mikotoksin utama yang termasuk ke dalam tujuh mikotoksin terpenting di dunia. Namun, aflatoksin mendapat perhatian yang lebih besar dibandingkan mikotoksin lainnya, baik dalam dunia medis maupun ekonomi. Oleh karena itu, kandungan aflatoksin dalam bahan pangan atau pakan telah diregulasi oleh negara-negara di dunia, termasuk Indonesia. Dengan demikian makalah ini membahas tentang aflatoksin secara lebih rinci.

1.2.            Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dari makalah ini adalah sebagai berikut :
            1.      Bagaimanakah morfologi jamur penghasil senyawa aflatoksin ?
2.      Bagaimanakah sejarah serta karakteristik aflatosin ?
3.      Dimanakah keberadaan aflatoksin pada pangan dan ternak ?
4.      Bagaimanakah efek aflatoksin terhadap kesehatan manusia dan ternak ?
5.      Bagaimanakah upaya pencegahan aflatoksin ?
6.      Bagaimanakah upaya mendiagnosis aflatoksin ?
7.      Bagaimanakah langkah penanganan aflatoksin ?

1.3.            Tujuan Penulisan
Adapun tujuan penulisan dari makalah ini adalah sebagai berikut :
1.      Untuk menambah wawasan mahasiswa mengenai materi mitotoksin salah satunya adalah aflatoksin.
2.      Untuk memenuhi tugas mata kuliah teknik penyimpanan dan penggudangan.

1.4.            Manfaat Penulisan
Adapun manfaat penulisan dari makalah ini adalah untuk menambah wawasan pembaca khususnya tentang materi aflatoksin.



BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

Aflatoksin merupakan senyawa metabolit sekunder yang bersifat toksik, diproduksi oleh strain tertentu jamur Aspergillus flavus dan A. parasiticus (Horn et al,2000). Penemuan aflatoksin bermula dari munculnya penyakit ‘Turkey X’ di Inggris pada tahun 1962 di mana 100.000 kalkun mati setelah makan kacang tanah terkontaminasi aflatoksin. Makanan atau pakan terkontaminasi aflatoksin dalam kadar yang tinggi. Aflatoksikosis menjadi masalah serius di negara berkembang terutama di Asia dan Afrika. Di negara maju seperti Amerika Serikat, kehilangan hasil akibat kontaminasi aflatoksin dilaporkan ratusan orang meninggal dunia di Kenya akibat mengkonsumsi jagung yang terkontaminasi aflatoksin pada kurun waktu kurang dari 10 tahun terakhir (Lewis et al. 2005). Aflatoksin mengakibatkan aflatoksikosis pada manusia atau ternak karena menghirup atau mengkonsumsi mencapai jutaan dollar (Amaike dan Keller 2011).

Aflatoksin ini memiliki paling tidak 13 varian, terdapat empat jenis aflatoksin yang telah diidentifikasi yaitu aflatoksin B1, B2, G1 dan G2. Aflatoksin B1 merupakan salah satu senyawa yang mampu menjadi penyebab terjadinya kanker pada manusia. Aflatoksin berpotensi karsinogenik, mutagenik, teratogenik, dan bersifat imunosupresif. Metabolisme aflatoksin B1 dapat menghasilkan aflatoksin M1, sebagaimana terdeteksi pada susu sapi yang pakannya mengandung aflatoksin B1 (Lanyasunya et al., 2005). Aflatoksin B1 dihasilkan oleh kedua spesies, sementara G1 dan G2 hanya dihasilkan oleh A. parasiticus. Aflatoksin M1, dan M2 ditemukan pada susu sapi dan merupakan epoksida yang menjadi senyawa antara. Aflatoksin B1bersifat paling toksik (Wrather dan Sweet, 2006).

Aflatoksin merupakan alami  yang dihasilkan oleh beberapa spesies dari fungi Aspergillus yang banyak ditemukan di daerah beriklim panas dan lembab. Aflatoksin bersifat karsinogenik sehingga preparasi standar dan sampel harus dilakukan secara hati-hati dan dengan menggunakan berbagai perlengkapan perlindungan diri. Beberapa perlindungan yang dianjurkan untuk digunakan antara lain, jas lab atau penutup tubuh sekali pakai yang tahan terhadap bahan kimia, kacamata lab, masker sekali pakai atau respirator, dan sarung tangan sekali pakai yang dipakai secara rangkap atau sarung tangan khusus yang tahan terhadap bahan kimia (Aini, 2012).


BAB III. PEMBAHASAN

3.1.            Morfologi Jamur Penghasil Senyawa Aflatoksin
Aspergillus flavus dan Aspergillus parasiticus merupakan bagian grup Aspergillus yang sudah sangat dikenal karena peranannya sebagai patogen pada tanaman dan kemampuannya untuk menghasilkan aflatoksin pada tanaman yang terinfeksi. Kedua spesies tersebut merupakan produsen toksin paling penting dalam grup Aspergillus yang mengkontaminasi produk agrikultur. Aspergillus flavus dan Aspergillus parasiticus mampu mengakumulasi aflatoksin pada berbagai produk pangan meskipun tipe toksin yang dihasilkan berbeda. Aspergillus flavus dan Aspergillus parasiticus dapat dilihat pada Gambar 1 dan 2.
  

Gambar 2. Aspergillus parasiticus

Klasifikasi jamur penghasil senyawa aflatoksin adalah sebagai berikut :
Super kingdom            :  Eukaryota                                        
Kingdom                     :  Fungi
Sub kingdom               :  Dikarya
Phylum                        :  Ascomycota
Subphylum                  :  Pezizomycotina
Classis                         :  Eurotiomycetes
Sub classis                   :  Eurotiomycetidae
Ordo                            :  Eurotiales
Familia                        :  Trichocomaceae
Genus                          :  Aspergillus
Spesies                         :  Aspergillus flavus                                            

3.2.            Aflatoksin
3.2.1.  Sejarah Aflatoksin
Aflatoksin ditemukan secara tidak sengaja pada insiden kematian seratus ribu ekor kalkun di suatu peternakan di Inggris pada tahun 1960. Penyakit tersebut dikenal dengan nama Turkey X Disease karena belum diketahui penyebabnya pada waktu itu. Penyebab penyakit tersebut ditemukan berupa sejenis toksin yang terdapat dalam tepung kacang tanah pada ransum ternak. Pengujian yang melibatkan sampel ransum ternak mengungkapkan keberadaan sejenis kapang. 
Toksin  tersebut berasal dari kontaminasi Aspergillus flavus pada campuran  ransum ternak tersebut. Nama toksin tersebut diambil dari penggalan kata Aspergillus flavus toksin yang disingkat menjadi aflatoksin karena Aspergillus flavus dan  Aspergillus parasiticus merupakan spesies  dominan yang bertanggung jawab atas kontaminasi aflatoksin pada tanaman sebelum dipanen maupun selama penyimpanan.

3.2.2. Sifat dan Karakteristik Aflatoksin
Jenis aflatoksin dan spesies penghasilnya dijelaskan pada Tabel 1Terdapat 18 jenis racun aflatoksin, empat yang paling kuat daya racunnya adalah aflatoksin B1, G1, B2, dan G2. Tahun 1988, International Agency for Research on Cancer menyatakan bahwa aflatoksin B1 bersifat karsinogen (menyebabkan kanker) pada manusia. Batas maksimum kandungan aflatoksin B1 dan aflatoksin total pada produk olahan jagung dan kacang tanah adalah masing-masing 20 dan 35 ppb (Keputusan Kepala Badan POM RI No. HK.00.05.1.1405, tahun 2004).
Tabel 1.  Jenis kapang dan jenis aflatoksin yang dihasilkan
Spesies
Jenis aflatoksin
Ditemukan pada
Aspergillus flavus
Aspergillus nomius
B1, B2.
Kacang tanah, jagung, dan olahannya serta pakan
Aspergillus parasiticus
B1, B2, G1, G2
M1, M2 (metabolit aflatoksin)
Susu

Aflatoksin B1 dan B2 dihasilkan oleh Aspergillus flavus dan Aspergillus parasiticus. Sedangkan aflatoksin G1 dan aflatoksin G2 hanya dihasilkan oleh Aspergillus parasiticus. Jika aflatoksin B1 dan G1 masuk ke dalam tubuh hewan ternak melalui pakannya, maka senyawa tersebut akan dikonversi di dalam tubuh hewan tersebut menjadi aflatoksin M1 dan M2, yang dapat diekskresikan dalam susu dan urin.

Tabel 2. Karakteristik Aflatoksin                                               
Aflatoksin
Rumus molekul
Berat Molekul
Titik leleh (0C)
B1
C17H12O6
312
268-269
B2
C17H14O6
314
286-289
G1
C17H12O7
328
244-246
G2
C17H14O7
330
237-240
M1
C17H12O7
328
299
M2
C17H14O7
330
293
B2A
C17H14O7
330
240
G2A
C17H14O8
346
190

Aflatoksin diberi akhiran sesuai dengan penampakan fluorosensinya dibawah sinar UV pada lempeng kromatografi lapisan tipis dengan silika gel yang disinari ultraviolet.  Penampakan fluoresensi biru diberi akhiran B (blue) dan penampakan fluorosensi hijau diberi akhiran G (green).  Berdasarkan mobilitas pada kromatografi lapisan tipis, penamaan aflatoksin diberi indeks angka tambahan menjadi B1, B2, G1, dan G2, masing-masing dengan struktur molekul yang berbeda namun mirip.
Sifat senyawa aflatoksin stabil, sulit terurai, tidak larut dalam air, tidak rusak pada suhu panas. Kondisi optimum untuk pertumbuhan kapang dan memproduksi aflatoksin yaitu: nilai water activity (Aw) > 0,7 ; kelembaban (RH) > 70% dan kisaran suhu 11-41°C dengan suhu untuk pembentukan aflatoksin maksimum sedikit di bawah suhu optimum untuk pertumbuhan kapangnya yaitu 24-30°C. Suhu pertumbuhan minimum dan maksimum ini dipengaruhi oleh faktor lain seperti konsentrasi oksigen, kadar air, nutrien dan lain-lain.
Selain itu kapang akan berkembang biak pada kondisi lingkungan yang tidak higienis, misalnya  banyak tikus, serangga gudang,  burung  dan lain-lain, dapat pula terserang komoditas lain yang sudah terserang penyakit tanaman atau Aspergillus. Tumbuhan yang terserang penyakit biasanya juga mengandung aflatoksin. Jadi perkembangbiakan Aspergillus sudah terjadi saat pertumbuhan komoditi di lahan petani, sampai penyimpanan di gudang.
Produksi aflatoksin merupakan sebuah konsekuensi dari kombinasi berbagai faktor antara lain karakteristik biologis dan kimiawi spesies, substrat, dan lingkungan seperti iklim dan faktor geografis. Faktor-faktor yang mempengaruhi meliputi temperatur,  kelembaban, cahaya, aerasi, pH, sumber karbon dan nitrogen, faktor stress, lipida, trace metal salt, tekanan osmosis, potensi oksidasi-reduksi, dan komposisi kimiawi dari nutrien yang diberikan.
Beberapa faktor-faktor tersebut bisa mempengaruhi ekspresi gen yang meregulasikan produksi aflatoksin (aflR) maupun gen struktural kemungkinan dengan mengubah ekspresi faktor-faktor transkripsi global yang merespons sinyal dari lingkungan dan nutrisi. Aflatoksin disintesis dari malonyl CoA dalam dua tahap. Tahap pertama ialah pembentukkan hexaonyl CoA dilanjutkan tahap kedua berupa pembentukan decaketide anthraquinone. Beberapa seri reaksi oksidasi-reduksi yang sangat terorganisir kemudian menghasilkan aflatoksin.

3.3.           Keberadaan Aflatoksin Pada Pangan dan Ternak
Aflatoksin dapat dijumpai pada berbagai bahan pangan, misalnya jenis serealia (jagung, sorgum, beras, gandum), rempah-rempah (lada, jahe, kunyit), kacang-kacangan (almond, kacang tanah), susu (jika ternak mengkonsumsi pakan yang terkontaminasi aflatoksin), termasuk produk pangan yang terbuat dari bahan-bahan tersebut, seperti roti dan selai kacang. Salah satu komoditi yang sangat rentan adalah kacang tanah dan produk olahannya, seperti kacang goreng, sambal pecel, minyak goreng, oncom, bungkil kacang tanah, dan selai kacang tanah.
Namun, komoditi yang mempunyai tingkat risiko tertinggi terkontaminasi aflatoksin adalah kacang tanah beserta produk olahannya, seperti kacang goreng, sambal pecel, minyak goreng, oncom, bungkil kacang tanah, dan selai kacang tanah, selain itu jagung, dan biji kapas (cotton seed).
Aflatoksin seringkali ditemukan pada tanaman sebelum dipanen. Setelah pemanenan, kontaminasi dapat terjadi jika hasil panen terlambat dikeringkan dan disimpan dalam kondisi lembab. Serangga dan tikus juga dapat memfasilitasi masuknya kapang pada komoditi yang disimpan. Aflatoksin sering kali terdifusi masuk ke dalam tenunan bagian-bagian dalam komoditi pertanian melalui rambut-rambut kapangnya. Dengan demikian, biji, umbi, bungkil, dan bagian lain komoditi yang tercemari tidak serta merta tampak oleh mata. Keberadaan aflatoksin dipengaruhi cuaca seperti suhu dan kelembapan, sehingga tingkat kontaminasinya bervariasi tergantung lokasi geografis, cara bertani, budi daya, dan kerentanan komoditi.            Racun aflatoksin seperti ochratoksin, sterigmatosistis, dan asam panisilat diproduksi lebih aktif pada bahan yang mengandung karbohidrat tinggi (jagung, gandum, dan beras), kemudian diikuti oleh bahan yang kaya lipid dan peptide (protein).

3.4.            Efek Aflatoksin
3.4.1.  Efek Aflatoksin Terhadap Kesehatan Manusia
Aflatoksin dapat bersifat toksigenik, mutagenik, teratogenik, karsinogenik, dan immunosuppresif pada hewan percobaan. Aflatoksin mendapat perhatian yang lebih besar daripada mikotoksin lain karena memiliki potensi efek karsinogenik terhadap tikus uji serta efek toksisitas akut terhadap manusia. Pada sejumlah spesies hewan, aflatoksin dapat menyebabkan nekrosis akut, sirosis, dan karsinoma hati serta berpotensi mempengaruhi sistem kekebalan tubuh. Tidak ada hewan yang resisten terhadap efek toksik akut aflatoksin, oleh karena itu sangat logis jika diasumsikan bahwa manusia juga mungkin dapat mengalami efek yang sama. Pada kebanyakan spesies hewan, LD50 aflatoksin berkisar antara 0,5 hingga 10 mg/kg berat badan.
Pada tahun 1988, IARC menggolongkan aflatoksin B1pada daftar karsinogen terhadap manusia. Hal ini didukung dengan sejumlah hasil penelitian epidemiologi di Asia dan Afrika yang menunjukkan hubungan positif antara diet aflatoksin dan kanker sel hati (Liver Cell Cancer = LCC). Sebagai tambahan, timbulnya penyakit yang berhubungan dengan aflatoksin pada manusia kemungkinan dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti usia, status nutrisi, dan atau paparan bahan lain, seperti virus hepatitis (HBV) atau infestasi parasit.
Aflatoksin mampu menyebabkan penyakit dalam jangka panjang (kronis) dan penyakit jangka pendek (akut) bergantung pada dosis dan frekuensi paparan aflatoksin. Salah satu efek yang paling sering terjadi ialah kehilangan sintesis protein, termasuk sintesis antibodi sesuai dengan dosis paparan.
Toksisitas akut terjadi tak lama setelah mengonsumsi bahan makanan yang terkontaminasi racun dengan dosis relatif besar dan yang terserang adalah hati, pankreas, serta ginjal. Pada efek kronis, aflatoksin menyebabkan timbulnya kanker hati (hepatic carcinoma). Secara umum konsentrasi aflatoksin dan akibat yang ditimbulkannya dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3.  Konsentrasi Aflatoksin dan Akibat yang Ditimbulkan
Konsentrasi Aflatoksin  (ppb)
Efek yang Ditimbulkan
20
Level maksimal yang diijinkan untuk manusia
50
Level maksimal yang diijinkan untuk hewan
100
Pertumbuhan lambat pada usia muda
200 – 400
Pertumbuhan lambat pada usia tua
>400
Kerusakan hati dan kanker

Aflatoksin yang dikonsumsi secara terus-menerus, walaupun dalam jumlah kecil, mampu menyebabkan kanker hati, organ tubuh yang sangat penting dan juga berperan dalam detoksifikasi aflatoksin itu sendiri. Data dari berbagai rumah sakit di Indonesia menunjukkan ada 20% kasus kanker hati tidak menunjukkan kaitan dengan infeksi hepatitis B maupun hepatitis C. Diduga Aflatoksin B1 memegang peran sebagai faktor pemicu mutasi P53 gen sel hati yang seterusnya menimbulkan kanker sel hati, timbul dugaan bahwa kasus kanker hati itu berhubungan dengan senyawa karsinogen termasuk Aflatoksin B1 (Rasyid, 2006).  Sampai saat ini obat yang diketahui dapat menyembuhkan kontaminasi Aspergillus adalah amphotericin B (AmB) dan itraconazole. Saat ini penggunaan voriconazole, posaconazole, dan caspofungin juga telah diterima untuk pengobatan kontaminasi Aspergillus.

3.4.2. Aflatoksikosis
Keracunan akibat mengkonsumsi pangan atau pakan yang tercemar aflatoksin disebut aflatoksikosis. Beberapa negara, terutama negara dunia ketiga, seperti Taiwan, Uganda, dan India telah melaporkan adanya bukti terjadinya aflatoksikosis akut pada manusia. Di negara-negara maju, kontaminasi aflatoksin pada pangan jarang terjadi pada tingkat yang dapat menimbulkan aflatoksikosis akut terhadap manusia.  Penelitian toksisitas paparan oral aflatoksin terhadap manusia difokuskan pada potensi karsinogeniknya. Kerentanan relatif manusia terhadap aflatoksin masih belum diketahui, meskipun pada studi epidemiologi di Afrika dan Asia Tenggara, tempat dimana banyak terjadi insiden hepatoma, telah ditemukan kaitan antara insiden kanker dengan kandungan aflatoksin dalam diet. Hasil penelitian tersebut tidak membuktikan adanya hubungan sebab akibat, tetapi dapat menjadi bukti adanya kaitan.
Masalah yang timbul jika mengonsumsi makanan yang mengandung aflatoksin:
a.       Keracunan akut (aflatoksikosis), dengan gejala mual, muntah, kerusakan   hati hingga kematian pada kasus serius
b.      Perkembangan anak dan pertumbuhan janin terganggu.
c.       Metabolisme protein terganggu.
d.      Kekebalan tubuh menurun.
e.       Kanker hati
Pada manusia, kasus aflatoksikosis sesungguhnya jarang dilaporkan, Tetapi kebanyakan kasus tidak selalu dikenali sebagai aflatoksikosis. Kita patut curiga bahwa telah terjadi aflatoksikosis jika ditemukan suatu penyakit yang menunjukkan karakteristik sebagai berikut:
a.       Penyebab penyakit tidak dapat segera teridentifikasi.
b.      Penyakitnya tidak menular.
c.       Penyebab penyakit diduga diakibatkan oleh jenis pangan tertentu.
d.      Pemberian antibiotik atau obat lainnya hanya memberikan sedikit pengaruh.
e.       Kejadiannya bersifat musiman (kondisi cuaca dapat mempengaruhi pertumbuhan kapang).

Efek berat aflatoksikosis pada hewan (yang diperkirakan bisa juga terjadi pada manusia) dikategorikan ke dalam dua bentuk utama, yaitu aflatoksikosis akut (jangka pendek) dan aflatoksikosis kronik (jangka panjang).
a)      Aflatoksikosis akut dapat diakibatkan oleh konsumsi aflatoksin dalam tingkat sedang hingga tinggi. Beberapa gejala umum aflatoksikosis adalah edema anggota tubuh bagian bawah, nyeri perut, dan muntah. Secara spesifik, paparan akut aflatoksin dapat menyebabkan perdarahan, kerusakan hati secara akut, edema, perubahan pada pencernaan, dan kemungkinan kematian. Tertelannya aflatoksin dalam jumlah besar umumnya terjadi di peternakan. Organ target aflatoksin adalah hati. Setelah aflatoksin masuk ke hati, lipid menyusup ke dalam hepatosit dan menyebabkan nekrosis atau kematian sel hati. Hal ini terutama disebabkan oleh metabolit aflatoksin yang bereaksi secara negatif dengan protein sel lain, yang menyebabkan penghambatan metabolisme karbohidrat dan lemak serta sintesis protein. Akibat penurunan fungsi hati, terjadi gangguan mekanisme pembekuan darah, ikterus (jaundice), dan penurunan protein serum esensial yang disintesis oleh hati.
b)      Aflatoksikosis kronik disebabkan oleh konsumsi aflatoksin dalam tingkat rendah hingga sedang. Efek yang ditimbulkan biasanya bersifat subklinis dan sulit dikenali. Gejala aflatoksikosis kronik dapat berupa penurunan laju pertumbuhan, penurunan produksi susu atau telur, dan imunosupresi. Beberapa pengamatan menunjukkan adanya karsinogenisitas, terutama terkait dengan aflatoksin B1. Tampak jelas terjadinya kerusakan hati karena timbulnya warna kuning yang menjadi karakteristik jaundice, serta timbul pembengkakan kandung empedu. Imunosupresi disebabkan oleh reaktivitas aflatoksin dengan sel T, penurunan aktivitas vitamin K, dan penurunan aktivitas fagositosis makrofag. Pada hewan, efek imunosupresi akibat aflatoksin ini memberi kecenderungan terkena infeksi sekunder dari jamur lain, bakteri, maupun virus.

3.4.3. Efek Aflatoksin  Bagi Ternak
Hasil-hasil penelitian (mani et al., 2001; muthiah et al., 1998) melaporkan bahaya aflatoksin dan dampaknya terhadap hewan yaitu dapat menghambat peningkatan bobot badan ternak unggas dan ruminansia, mengurangi produksi telur, menurunkan respon imun (daya kekebalan tubuh ternak),  jumlah kematian ternak tinggi, mempengaruhi absorpsi unsur mineral Ca, Cu, Fe dan P, kerusakan organ hati serta menyebabkan residu pada produk ternak, yang akan berbahaya bagi manusia.

3.5.            Upaya Pencegahan Aflatoksin
Produksi pangan yang benar-benar bebas mikotoksin merupakan hal yang sangat sulit dilakukan. Namun, metode penyimpanan dan penanganan komoditi yang baik dapat meminimalkan pertumbuhan kapang sehingga dapat menurunkan risiko pencemaran mikotoksin pada produk pangan. Penyimpanan komoditi pangan tersebut sebaiknya di tempat yang kering (kelembaban rendah) dan sejuk (lebih baik jika disimpan di freezer)
Untuk mengurangi masuknya aflatoksin ke dalam tubuh melalui pangan, sangat bijaksana jika konsumen bersikap selektif terhadap pangan yang akan dikonsumsinya, antara lain dengan menghindari mengkonsumsi pangan yang telah berjamur, telah berubah warna, telah berubah rasa atau tengik.
Upaya menghindari pertumbuhan mikrobia pada bahan pakan bisa dilakukan dengan jalan menjaga kelembaban yang rendah, kurang dari 80% sehingga pertumbuhan fungi akan terhambat. Hindari suhu optimum untuk pertumbuhan fungi A. Flavus maupun A. parasiticus, yaitu 25 – 40 oC. Penyimpanan dalam keadaan kering,  kira-kira kadar air 10-12% terhadap bahan pakan sangat dianjurkan.
Pemilihan bahan pakan yang baik dan utuh, terhindar dari kelukaan atau kerusakan oleh serangan hama harus ditegakkan, karena serangan serangga merupakan predisposisi bagi pertumbuhan fungi pada bahan pakan tersebut. Pada jagung yang terserang serangga menunjukkan kandungan aflatoksin hampir 90%. Hindari pH 5,5 – 7,0 yang optimum untuk pertumbuhan A. Flavus.
Seluruh pihak yang berkepentingan (stakeholder) perlu mengetahui tingkat cemaran aflatoksin melalui pengujian aflatoksin pada komoditi bahan pangan dan pakan yang menjadi komoditas perdagangan. Berbagai upaya telah dilakukan untuk mencegah kontaminasi aflatoksin, tetapi hal ini masih tetap menjadi masalah. Berbagai negara telah mencoba membatasi paparan aflatoksin dengan mengeluarkan peraturan batasan kadar aflatoksin pada komoditi yang akan digunakan sebagai makanan dan pakan. Food and Drug Administration di Amerika Serikat, misalnya, memberi batasan kadar aflatoksin maksimum 20 ppm pada makanan dan pakan, termasuk produk-produk kacang tanah.


3.6.            Upaya Mendiagnosis Aflatoksin
Adapun upaya mendiagnosis aflatoksin, yaitu sebagai berikut :
3.6.1.  Teknologi Deteksi Aflatoksin
Teknologi deteksi aflatoksin secara kuantitatif, teknik kromatografi cair kinerja tinggi (KCKT) merupakan cara pendeteksian yang umum digunakan dan merupakan metode konfirmasi. Sedangkan metode semi kuantitaf aflatoksin adalah kromatografi lapis tipis (KLT) dan Enzyme Linked Immunoassay (ELISA), telah pula dikembangkan di laboratorium Bbalitvet. Saat ini laboratorium Toksikologi Bbalitvet telah dapat menentukan cemaran aflatoksin untuk kepentingan penelitian maupun pengujian diagnostik dengan KCKT (Kromatografi Cair Kinerja Tinggi) atau HPLC (High Pressure Liquid Chromatography) dengan detektor fluoresen, dimana metoda deteksi ini memerlukan tahapan derivatisasi untuk mengubah aflatoksin menjadi senyawa berfluoresensi kuat, serta teknik ELISA (rachmawati, 2005). Analisis aflatoksin pada pakan dan bahan pakan dengan kedua metoda tersebut (HPLC dan ELISA) telah masuk ruang lingkup terakreditasi berdasar ISO guide 17025.
Telah pula dikembangkan teknik deteksi menggunakan LCMS dapat memotong tahapan derivatisasi dan memberikan hasil konfirmasi yang lebih akurat dan diharapkan lebih sensitif. Untuk teknologi deteksi secara ELISA telah dapat dirakit berupa kit yang dapat di suplai ke para pengguna, sehingga laboratorium lain dalam ruang lingkup kegiatan yang hampir sama dapat melakukan analisis aflatoksin pada laboratoriumnya.
Analisis menggunakan kit ELISA lebih disukai, karena dapat menganalisis sampel dalam jumlah banyak dalam satu waktu analisis dan ekstraksi sampel lebih sederhana, sehingga waktu analisis lebih cepat. Meskipun kit serupa produksi luar negeri tersedia di Indonesia (kit impor), namun kit hasil pengembangan Bbalitvet dapat diperoleh di dalam negeri dengan harga relatif murah (3 kali lebih murah) (rachmawati, 2005). Metode analisis aflatoksin secara ELISA dapat dikembangkan lebih lanjut untuk keperluan lapang, seperti ELISA dipstick atau ELISA test strip. Namun demikian baik metode ELISA maupun kromatografi untuk analisis aflatoksin, dapat lebih luas dikembangkan untuk aplikasi dalam matrik bahan pertanian lain ataupun makanan (rachmawati, 2006).

4.6.2.  Teknik Dekontaminasi
Upaya menekan kandungan aflatoksin dapat dilakukan dengan menggunakan cendawan Neurospoa sp. dan Rhizopus sp. Selanjutnya untuk menghindari serangan cendawan A. Flavus pada jagung dapat dilakukan dengan sesegera mungkin menjemur tongkol jagung yang sudah dipanen sampai kadar air 17%, lalu dipipil dan dikeringkan lagi sampai kadar air 11% kemudian disimpan. Pada kondisi kadar air rendah pada biji jagung, maka tidak terserang cendawan A. Flavus. Upaya lain adalah penggunaan bahan kimia yaitu ammonia dan asam propionate dapat negurangi jumlah spora yang menempel pada jambul jagung, sehingga mengurangi sumber inokolum untuk infeksi di penyimpanan.
Upaya untuk mengatasi mikotoksin adalah dengan ekstraksi menggunakan pelarut organik, antara lain dengan kalsium klorida atau sodium bikarbonat atau dengan pemanasan dalam air garam. Penggunaan amonia atau monometylamine dan kalsium hidroksida juga efektif dalam mengatasi toksin tersebut. NaOCl bisa digunakan untuk dekontaminasi pada kacang tanah, formaldehid dan NaOH pada tepung kacang. Perendaman atau pencelupan kacang tanah dalam p-amino benzoat, kalium sulfit, kalium fluorida, ammonia 2%, asam propionat, Na-asetat, dan H2O2. Detoksifikasi dengan ammonia terhadap aflatoksin adalah sangat praktis dan mudah, sehingga banyak dipraktekkan. 
Toksin dapat juga dihancurkan dengan pemanasan, misal penggarangan kacang tanah pada suhu 150oC selama 30 menit akan mengurangi aflatoksin B1 sebanyak 80% dan aflatoksin B2 sebanyak 60%. Penggorengan dengan minyak pada kacang tanah pada suhu 204oC akan mengurangi kadar aflatoksin B1 dan G1 rata-rata 40 -50%, sedangkan aflatoksin B2 dan G2 akan menurun sebanyak 20 – 40%. Aflatoksin dianggap stabil terhadap pemanasan, karena pada pemanasan normal (100oC) tidak menyebabkan perubahan. Demikian pula trikhotesen, zeralenon, khloratoksin dan patulin. Sedangkan sitrinin mudah dirusak oleh pemanasan. Pemanasan bertekanan (autoklaf) dapat juga mengurangi kadar aflatoksin. Pada autoklaf suhu 120oC bertekanan 15 lbs selama 4 hari pada tepung kacang dengan kelembaban 60% akan menurunkan kadar aflatoksin dari 7.000 mg/kg menjadi 340 mg/kg. Penyinaran dengan sinar ultra violet selama 45 detik bisa menghancurkan spora A. Flavus. Akan tetapi penyinaran ini juga menyebabkan berkurangnya zat-zat gizi dalam bahan pakan.
Bahan-bahan kimia tertentu, seperti diklorvos akan menghambat pembentukan aflatoksin pada gandum, jagung, beras dan kacang tanah. Pencegahan aflatoksin dapat dilakukan dengan penggunaan feed aditiv yang dicampurkan dalam bahan pakan , sehingga secara in vivo feed aditiv ini akan aktif melawan mikotoksin. Beberapa mineral dapat memiliki kemampuan mengabsorbsi atau menangkap molekul mikotoksin sehingga tidak berbahaya bagi ternak. Beberapa zat yang dapat bertindak sebagai feed aditiv antara lain  activated charcoal, yeast produk dinding sel. Beberapa produk sintetik dapat digunakan, antara lain  zeolit, aluminosilikat dan Gamma Amino Butiric Acid (GABA). Zeolit aktif melawan aflatoksin T2.. Penambahan zeolit 2%  sebanyak 1mg/kg  bahan pakan terkontaminasi aflatoksin B1  akan menurunkan kadar aflatoksin dalam hati sampai 30-40%.
3.7.            Langkah Penanganan
Berikut merupakan beberapa langkah penanganan Aflatoksin, yakni :
1.      Melakukan peningkatan manajemen bercocok tanam, penggunaan varietas tanaman tahan serangan kapang toksigenik pada proses pra panen, serta pemilihan terhadap bahan pangan yang berkualitas baik dan tidak berkapang.
2.      Mendidik petani, pedagang pengumpul, grosir, pengecer, industri pangan dan pakan mengenai cara penanganan pasca panen kacang tanah dan jagung yang baik, melalui media berupa brosur, artikel pada majalah ilmiah populer, dan lain-lain.
3.      Melakukan monitoring terhadap kadar aflatoksin pada pangan dan pakan secara kuantitatif dan semi kualitatif pada berbagai tahapan.
4.      Melakukan survei yang lebih luas dan terpadu terhadap kontaminasi aflatoksin pada berbagai bahan pangan dan pakan di berbagai daerah (kabupaten, provinsi) di Indonesia.
5.      Menangani masalah aflatoksin dengan koordinasi berbagai pihak meliputi pemerintah, produsen, konsumen, praktisi, akademisi dan peneliti.
6.      Mendistribusikan informasi yang diperoleh dari laporan ini kepada penyuluh pertanian, importir, grosir, dan pengecer kacang tanah, serta industri pangan dan pakan yang berbahan baku kacang tanah dan jagung.
7.      Mendidik konsumen untuk dapat mengenali dan tidak mengonsumsi kacang tanah yang tercemar aflatoksin dengan ciri biji berwarna coklat kehijauan hingga kehitaman, dan berasa pahit.


BAB IV. SIMPULAN

4.1.            Kesimpulan 
Adapun kesimpulan yang dapat kita ambil dari makalah ini adalah sebagai berikut :
1.      Aspergillus flavus dan Aspergillus parasiticus merupakan bagian grup Aspergillus yang sudah sangat dikenal karena peranannya sebagai patogen pada tanaman dan kemampuannya untuk menghasilkan aflatoksin pada tanaman yang terinfeksi.
2.      Aflatoksin dapat dijumpai pada berbagai bahan pangan, misalnya jenis serealia (jagung, sorgum, beras, gandum), rempah-rempah (lada, jahe, kunyit), kacang-kacangan (almond, kacang tanah), susu (jika ternak mengkonsumsi pakan yang terkontaminasi aflatoksin), termasuk produk pangan yang terbuat dari bahan-bahan tersebut, seperti roti dan selai kacang.
3.      Keracunan akibat mengkonsumsi pangan atau pakan yang tercemar aflatoksin disebut aflatoksikosis.
4.      Metode penyimpanan dan penanganan komoditi yang baik dapat meminimalkan pertumbuhan kapang sehingga dapat menurunkan risiko pencemaran mikotoksin pada produk pangan.
5.      Upaya mendiagnosis aflatoksi yaitu dengan menggunakan teknologi deteksi aflatoksin dan teknik dekontaminasi.

4.2.            Saran
Adapun saran yang dapat penulis berikan adalah agar pembaca lebih memperhatikan teknik penyimpanan bahan bahan dengan baik dan benar agar dapat membantu meminimalkan terjadinya kontaminasi mitotoksin pada produk pangan.


DAFTAR PUSTAKA
Amaike, S. and N.P. Keller. 2011. Aspergillus flavus. Ann. Rev. of Phytopath. 49, 107–133.
Horn, B.W., R.L. Greene, and J.W. Dorner. 2000. Inhibition of aflatoxin B1 production by Aspergillus parasiticus using nonaflatoxigenic strains: role of vegetative compatibility. Biological Control, 17, 147–154.
Lanyasunya, T.P., L.W. Wamae, H.H. Musa, O. Olowofeso, and I.K. Lokwaleput. 2005. The risk of mycotoxins contamination of dairy feed and milk on smallholder dairy farms in Kenya. Pakistan Journal of Nutrition 4 (3): 162-169.
Lewis, L., M. Onsongo, H. Njapau, H. Schurz-rogers, G. Luber, S. Kieszak, J. Nyamongo, L. Backer, A.M. Dahiye, A. Misore, K. Decock, and C. Rubin. 2005. Aflatoxin contamination of commercial maize products during an outbreak of acute aflatoxicosis in Eastern and Central Kenya. Environ. Health Perspect, 113.
Aini,nurul. 2012. Aflatoksin Cemaran dan Metode Analisisnya Dalam Makanan. Jurnal Kefarmasian Indonesia. 2, 54-61.
Wrather, J.A. and L.E. Sweet. 2006. Aflatoxin in Corn. Jefferson City: Delta Research Center. Missouri Agricultural Experiment Station. MU College of Agriculture, Food and Natural Resource. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

EKOLOGI SERANGGA HAMA GUDANG SERTA PENGENDALIANNYA

Tugas Makalah Teknik Penyimpanan dan Penggudangan EKOLOGI SERANGGA HAMA GUDANG SERTA PENGENDALIANNYA DISUSUN OLEH KELOMPOK I :...