Tugas Makalah Teknik Penyimpanan dan
Penggudangan
AFLATOKSIN
DISUSUN
OLEH KELOMPOK I :
DINO SETYADI (1405106010063)
MUTIA RIZKY ISKANDAR (1505106010001)
CUT KEKE (1505106010003)
NOVI DIANA (1505106010013)
RATIH ANGGRAINI (1505106010015)
KELAS
: 01 (SATU)
DOSEN PEMBIMBING : BAMBANG SUKARNO PUTRA S.TP, M.Si
PROGRAM
STUDI TEKNIK PERTANIAN
FAKULTAS
PERTANIAN UNIVERSITAS SYIAH KUALA
DARUSSALAM
BANDA ACEH
2018
DAFTAR
ISI
DAFTAR ISI....................................................................................................... i
KATA PENGANTAR....................................................................................... ii
BAB I. PENDAHULUAN.................................................................................. 1
1.1
Latar
Belakang ..................................................................................... 1
1.2
Rumusan
Masalah................................................................................ 2
1.3
Tujuan
Penulisan.................................................................................. 2
1.4
Manfaat Penulisan................................................................................ 2
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA...................................................................... 3
BAB III. PEMBAHASAN.................................................................................. 4
3.1.
Morfologi Jamur Penghasil Senyawa
Aflatoksin............................... 4
3.2.
Aflatoksin............................................................................................... 5
3.2.1. Sejarah Aflatoksin...................................................................... 5
3.2.2. Sifat dan Karakteristik Aflatoksin............................................ 5
3.3. Keberadaan Aflatoksin Pada Pangan dan Ternak............................ 7
3.4. Efek Aflatoksin...................................................................................... 8
3.4.1. Efek Aflatoksin Terhadap Kesehatan Manusia...................... 8
3.4.2. Aflatoksikosis............................................................................... 9
3.4.3. Efek Aflatoksin Bagi Ternak..................................................... 11
3.5. Upaya Pencegahan Aflatoksin............................................................. 11
3.6. Upaya Mendiagnosis Aflatoksin.......................................................... 12
3.6.1. Teknologi
Deteksi Aflatoksin..................................................... 12
3.6.2. Teknologi
Dekontaminasi........................................................... 13
3.7. Langkah
Penanganan........................................................................... 15
BAB IV. SIMPULAN......................................................................................... 16
4.1.
Kesimpulan.................................................................................. 16
4.2.
Saran............................................................................................. 16
DAFTAR
PUSTAKA......................................................................................... 17
Puji dan syukur yang tak terhingga penulis
panjatkan kehadirat Illahi Rabbi, atas berkah, rahmat, karunia dan hidayah-Nya
akhirnya penulis dapat menyelesaikan makalah ini.
Adapun tujuan disusunnya makalah ini ialah
sebagai salah satu agenda kegiatan akademis yang harus ditempuh oleh setiap
mahasiswa dalam menyelesaikan studi di tingkat perkuliahan semester VII, adapun
judul dari makalah ini adalah “Aflatoksin”.
Dalam proses penyusunan makalah ini, penulis
banyak mendapatkan bantuan, dukungan, serta do’a dari berbagai pihak, oleh
karena itu izinkanlah di dalam kesempatan ini penulis menghaturkan terima kasih
dengan penuh rasa hormat serta dengan segala ketulusan hati kepada :
1.
Kedua orang tua, atas curahan kasih sayang
yang tiada henti, yang senantiasa mendukung secara moril & materil serta
yang selalu mendo’akan penulis di dalam menempuh pendidikan ini.
2.
Bapak
Bambang Sukarno Putra, S.TP, M.Si selaku
dosen mata kuliah teknik penyimpanan dan penggudangan yang dengan segala keikhlasannya telah
memberikan bimbingan, arahan, serta nasehat kepada penulis hingga
terselesaikannya makalah ini.
3.
Teman-teman seperjuangan khususnya Kelas 01 yang senantiasa memberi masukan hingga terselesaikannya makalah ini.
Sangatlah disadari bahwa makalah ini masih
banyak kekurangan didalam penyusunannya dan jauh dari kesempurnaan, untuk itu penulis
mengharapkan saran maupun kritik yang kiranya dapat membangun dari para
pembaca. Akhir kata semoga makalah ini dapat memberikan manfaat khususnya bagi
kita semua. Amin Ya Rabbal ‘Alamin.
Banda Aceh, 10
Oktober 2018
Penyusun
BAB I. PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang
Kontaminasi
aflatoksin pada komoditi pertanian merupakan kendala terbesar bagi perkembangan
pertanian dan peternakan di Indonesia. Hal ini disebabkan oleh kondisi iklim
dan lingkungan Indonesia yang tropis merupakan kondisi ideal bagi pertumbuhan
kapang Aspergillus spp. sebagai kapang penghasil aflatoksin. Aflatoksin
juga sangat berkaitan dengan keamanan pangan akibat kontaminasinya pada bahan
pangan atau pakan.
Aflatoksin
merupakan produk metabolik sekunder yang terbentuk setelah fase logaritmik
pertumbuhan kapang Aspergillus flavus dan Aspergillus parasiticus (Heathcote
1984).
Aspergillus
flavus banyak ditemukan pada bahan pangan dan pakan di
Indonesia yang berbasis pertanian. Jagung dan kacang tanah contohnya, merupakan
media yang potensial untuk pertumbuhan kapang Aspergillus flavus. Kandungan
aflatoksin pada bahan baku sangat mempengaruhi kualitas bahan pangan atau
pakan. Semakin tinggi aflatoksin dalam bahan baku maka semakin tinggi pula
kandungan aflatoksin pada pangan atau pakan jadi, yang berkorelasi dengan
menurunnya kualitas pangan atau pakan. Kontaminasi aflatoksin yang melebihi
batas ambang maksimum yang ditetapkan dalam dunia perdagangan menyebabkan
banyak komoditi pertanian tidak layak diperdagangkan. Hal tersebut
mengakibatkan kerugian yang besar terhadap perekonomian suatu negara secara
luas.
Di dalam
Reddy dan Wiliyar (2000), FAO memperkirakan 25% bahan pangan yang berasal dari
komoditas pertanian terinfeksi aflatoksin setiap tahunnya. Kerugian yang sangat
besar harus dialami oleh negara-negara maju maupun berkembang. Kerugian ekonomi
yang disebabkan oleh kontaminasi aflatoksin di Asia mencapai 400 juta dolar per
tahun (Zanelli 2000), di Amerika mencapai lebih dari 100 juta dolar per tahun
(Reddy dan Wiliyar 2000), dan di Australia mencapai 10 juta dolar per tahun
(Pitt dan Hocking 1997).
Di
samping dampak ekonomi yang dihasilkan, dampak yang tidak kalah pentingnya
adalah dampak kesehatan manusia dan hewan ternak. Kontaminasi aflatoksin pada
bahan pangan dan pakan dapat menghasilkan residu dalam tubuh yang mengakibatkan
keracunan pada manusia dan hewan ternak. Hal ini tidak sesuai dengan fungsi dan
hakekat dari pangan dan pakan yakni memenuhi nilai gizi serta meningkatkan
kesehatan. Kontaminasi aflatoksin dalam tubuh dapat menyebabkan radang hati,
kelesuan, hepatitis, dan kematian (Siregar 1986). Pitt dan Hocking (1997)
memperkirakan terdapat 20.000 kematian penderita kanker hati di Indonesia
setiap tahunnya disebabkan oleh kontaminasi aflatoksin.
Aflatoksin
dikategorikan sebagai mikotoksin utama yang termasuk ke dalam tujuh mikotoksin
terpenting di dunia. Namun, aflatoksin mendapat perhatian yang lebih besar
dibandingkan mikotoksin lainnya, baik dalam dunia medis maupun ekonomi. Oleh
karena itu, kandungan aflatoksin dalam bahan pangan atau pakan telah diregulasi
oleh negara-negara di dunia, termasuk Indonesia. Dengan demikian makalah ini
membahas tentang aflatoksin secara lebih rinci.
1.2.
Rumusan
Masalah
Adapun rumusan masalah dari makalah ini adalah
sebagai berikut :
1. Bagaimanakah morfologi jamur penghasil
senyawa aflatoksin ?
2.
Bagaimanakah sejarah serta karakteristik aflatosin
?
3.
Dimanakah keberadaan aflatoksin pada pangan
dan ternak ?
4.
Bagaimanakah efek aflatoksin terhadap
kesehatan manusia dan ternak ?
5.
Bagaimanakah upaya pencegahan aflatoksin ?
6.
Bagaimanakah upaya mendiagnosis aflatoksin ?
7.
Bagaimanakah langkah penanganan aflatoksin
?
1.3.
Tujuan Penulisan
Adapun tujuan penulisan dari makalah ini adalah
sebagai berikut :
1.
Untuk
menambah wawasan mahasiswa mengenai materi mitotoksin salah satunya adalah
aflatoksin.
2.
Untuk
memenuhi tugas mata kuliah teknik penyimpanan dan penggudangan.
1.4.
Manfaat Penulisan
Adapun manfaat penulisan dari makalah ini adalah untuk menambah
wawasan pembaca khususnya tentang materi aflatoksin.
BAB II.
TINJAUAN PUSTAKA
Aflatoksin merupakan senyawa
metabolit sekunder yang bersifat toksik, diproduksi oleh strain tertentu jamur Aspergillus
flavus dan A. parasiticus (Horn et al,2000). Penemuan aflatoksin
bermula dari munculnya penyakit ‘Turkey X’ di Inggris pada tahun 1962 di mana
100.000 kalkun mati setelah makan kacang tanah terkontaminasi aflatoksin.
Makanan atau pakan terkontaminasi aflatoksin dalam kadar yang tinggi.
Aflatoksikosis menjadi masalah serius di negara berkembang terutama di Asia dan
Afrika. Di negara maju seperti Amerika Serikat, kehilangan hasil akibat
kontaminasi aflatoksin dilaporkan ratusan orang meninggal dunia di Kenya akibat
mengkonsumsi jagung yang terkontaminasi aflatoksin pada kurun waktu kurang dari
10 tahun terakhir (Lewis et al. 2005). Aflatoksin mengakibatkan aflatoksikosis
pada manusia atau ternak karena menghirup atau mengkonsumsi mencapai jutaan
dollar (Amaike dan Keller 2011).
Aflatoksin ini memiliki paling
tidak 13 varian, terdapat empat jenis aflatoksin yang telah diidentifikasi
yaitu aflatoksin B1, B2, G1 dan G2. Aflatoksin B1 merupakan salah satu senyawa
yang mampu menjadi penyebab terjadinya kanker pada manusia. Aflatoksin
berpotensi karsinogenik, mutagenik, teratogenik, dan bersifat imunosupresif.
Metabolisme aflatoksin B1 dapat menghasilkan aflatoksin M1, sebagaimana
terdeteksi pada susu sapi yang pakannya mengandung aflatoksin B1 (Lanyasunya et al., 2005).
Aflatoksin B1 dihasilkan oleh kedua spesies, sementara G1
dan G2 hanya dihasilkan oleh A. parasiticus. Aflatoksin M1,
dan M2 ditemukan pada susu sapi dan merupakan epoksida yang menjadi senyawa antara. Aflatoksin
B1bersifat paling toksik (Wrather dan Sweet, 2006).
Aflatoksin merupakan alami yang dihasilkan oleh beberapa spesies dari
fungi Aspergillus yang banyak ditemukan di daerah beriklim panas dan
lembab. Aflatoksin bersifat karsinogenik sehingga preparasi standar dan sampel
harus dilakukan secara hati-hati dan dengan menggunakan berbagai perlengkapan
perlindungan diri. Beberapa perlindungan yang dianjurkan untuk digunakan antara
lain, jas lab atau penutup tubuh sekali pakai yang tahan terhadap bahan kimia,
kacamata lab, masker sekali pakai atau respirator, dan sarung tangan sekali
pakai yang dipakai secara rangkap atau sarung tangan khusus yang tahan terhadap
bahan kimia (Aini, 2012).
BAB III. PEMBAHASAN
3.1.
Morfologi Jamur
Penghasil Senyawa Aflatoksin
Aspergillus flavus dan Aspergillus
parasiticus merupakan bagian grup
Aspergillus yang sudah sangat
dikenal karena peranannya sebagai patogen pada tanaman dan
kemampuannya untuk menghasilkan aflatoksin pada tanaman yang terinfeksi. Kedua
spesies tersebut merupakan produsen toksin paling penting dalam grup Aspergillus
yang mengkontaminasi produk agrikultur. Aspergillus flavus dan Aspergillus
parasiticus mampu mengakumulasi aflatoksin pada berbagai produk pangan
meskipun tipe toksin yang dihasilkan berbeda. Aspergillus flavus dan Aspergillus
parasiticus dapat dilihat pada Gambar 1 dan 2.
Gambar 2. Aspergillus
parasiticus
Klasifikasi jamur
penghasil senyawa aflatoksin adalah sebagai berikut :
Super kingdom :
Eukaryota
Kingdom : Fungi
Sub kingdom : Dikarya
Phylum : Ascomycota
Subphylum : Pezizomycotina
Classis : Eurotiomycetes
Sub classis : Eurotiomycetidae
Ordo : Eurotiales
Familia : Trichocomaceae
Genus : Aspergillus
Spesies :
Aspergillus flavus
3.2.
Aflatoksin
3.2.1. Sejarah
Aflatoksin
Aflatoksin ditemukan
secara tidak sengaja pada insiden kematian seratus ribu ekor kalkun di suatu
peternakan di Inggris pada tahun 1960. Penyakit tersebut dikenal dengan nama
Turkey X Disease karena belum diketahui penyebabnya pada waktu itu. Penyebab penyakit
tersebut ditemukan berupa sejenis toksin yang terdapat dalam tepung kacang
tanah pada ransum ternak. Pengujian yang melibatkan sampel ransum ternak
mengungkapkan keberadaan sejenis kapang.
Toksin tersebut
berasal dari kontaminasi Aspergillus flavus pada
campuran ransum ternak tersebut. Nama toksin tersebut diambil dari
penggalan kata Aspergillus flavus toksin yang disingkat menjadi
aflatoksin karena Aspergillus flavus dan Aspergillus
parasiticus merupakan spesies dominan yang bertanggung jawab atas
kontaminasi aflatoksin pada tanaman sebelum dipanen maupun selama penyimpanan.
3.2.2. Sifat dan Karakteristik Aflatoksin
Jenis aflatoksin dan
spesies penghasilnya dijelaskan pada Tabel 1. Terdapat 18 jenis
racun aflatoksin, empat yang paling kuat daya racunnya adalah aflatoksin B1,
G1, B2, dan G2. Tahun 1988, International Agency for Research on Cancer
menyatakan bahwa aflatoksin B1 bersifat karsinogen (menyebabkan kanker) pada
manusia. Batas maksimum kandungan aflatoksin B1 dan aflatoksin total
pada produk olahan jagung dan kacang tanah adalah masing-masing 20 dan 35 ppb (Keputusan
Kepala Badan POM RI No. HK.00.05.1.1405, tahun 2004).
Tabel 1. Jenis kapang dan jenis aflatoksin
yang dihasilkan
Spesies
|
Jenis
aflatoksin
|
Ditemukan
pada
|
Aspergillus
flavus
Aspergillus
nomius
|
B1, B2.
|
Kacang
tanah, jagung, dan olahannya serta pakan
|
Aspergillus
parasiticus
|
B1, B2,
G1, G2
M1, M2
(metabolit aflatoksin)
|
Susu
|
Aflatoksin B1 dan
B2 dihasilkan oleh Aspergillus flavus dan Aspergillus
parasiticus. Sedangkan aflatoksin G1 dan aflatoksin G2 hanya
dihasilkan oleh Aspergillus parasiticus. Jika aflatoksin B1 dan
G1 masuk ke dalam tubuh hewan ternak melalui pakannya, maka
senyawa tersebut akan dikonversi di dalam tubuh hewan tersebut menjadi
aflatoksin M1 dan M2, yang dapat diekskresikan dalam
susu dan urin.
Tabel 2. Karakteristik
Aflatoksin
Aflatoksin
|
Rumus molekul
|
Berat Molekul
|
Titik leleh (0C)
|
B1
|
C17H12O6
|
312
|
268-269
|
B2
|
C17H14O6
|
314
|
286-289
|
G1
|
C17H12O7
|
328
|
244-246
|
G2
|
C17H14O7
|
330
|
237-240
|
M1
|
C17H12O7
|
328
|
299
|
M2
|
C17H14O7
|
330
|
293
|
B2A
|
C17H14O7
|
330
|
240
|
G2A
|
C17H14O8
|
346
|
190
|
Aflatoksin diberi
akhiran sesuai dengan penampakan fluorosensinya dibawah sinar UV pada lempeng
kromatografi lapisan tipis dengan silika gel yang disinari ultraviolet.
Penampakan fluoresensi biru diberi akhiran B (blue) dan penampakan fluorosensi
hijau diberi akhiran G (green). Berdasarkan mobilitas pada kromatografi
lapisan tipis, penamaan aflatoksin diberi indeks angka tambahan menjadi B1, B2,
G1, dan G2, masing-masing dengan struktur molekul yang berbeda namun mirip.
Sifat senyawa
aflatoksin stabil, sulit terurai, tidak larut dalam air, tidak rusak pada suhu
panas. Kondisi optimum untuk pertumbuhan kapang dan memproduksi aflatoksin
yaitu: nilai water activity (Aw) > 0,7 ; kelembaban (RH) > 70% dan
kisaran suhu 11-41°C dengan suhu untuk pembentukan aflatoksin maksimum sedikit
di bawah suhu optimum untuk pertumbuhan kapangnya yaitu 24-30°C. Suhu
pertumbuhan minimum dan maksimum ini dipengaruhi oleh faktor lain seperti
konsentrasi oksigen, kadar air, nutrien dan lain-lain.
Selain itu kapang
akan berkembang biak pada kondisi lingkungan yang tidak higienis,
misalnya banyak tikus, serangga gudang, burung dan lain-lain,
dapat pula terserang komoditas lain yang sudah terserang penyakit tanaman atau Aspergillus. Tumbuhan
yang terserang penyakit biasanya juga mengandung aflatoksin. Jadi
perkembangbiakan Aspergillus sudah terjadi saat pertumbuhan
komoditi di lahan petani, sampai penyimpanan di gudang.
Produksi aflatoksin
merupakan sebuah konsekuensi dari kombinasi berbagai faktor antara lain
karakteristik biologis dan kimiawi spesies, substrat, dan lingkungan seperti
iklim dan faktor geografis. Faktor-faktor yang mempengaruhi meliputi
temperatur, kelembaban, cahaya, aerasi, pH, sumber karbon dan
nitrogen, faktor stress, lipida, trace metal salt, tekanan osmosis,
potensi oksidasi-reduksi, dan komposisi kimiawi dari nutrien yang diberikan.
Beberapa
faktor-faktor tersebut bisa mempengaruhi ekspresi gen yang meregulasikan
produksi aflatoksin (aflR) maupun gen struktural kemungkinan dengan mengubah
ekspresi faktor-faktor transkripsi global yang merespons sinyal dari lingkungan
dan nutrisi. Aflatoksin disintesis dari malonyl CoA dalam dua tahap. Tahap
pertama ialah pembentukkan hexaonyl CoA dilanjutkan tahap kedua berupa
pembentukan decaketide anthraquinone. Beberapa seri reaksi oksidasi-reduksi
yang sangat terorganisir kemudian menghasilkan aflatoksin.
3.3.
Keberadaan Aflatoksin
Pada Pangan dan Ternak
Aflatoksin dapat
dijumpai pada berbagai bahan pangan, misalnya jenis serealia (jagung, sorgum,
beras, gandum), rempah-rempah (lada, jahe, kunyit), kacang-kacangan (almond,
kacang tanah), susu (jika ternak mengkonsumsi pakan yang terkontaminasi
aflatoksin), termasuk produk pangan yang terbuat dari bahan-bahan tersebut,
seperti roti dan selai kacang. Salah satu komoditi yang sangat rentan adalah
kacang tanah dan produk olahannya, seperti kacang goreng, sambal pecel, minyak
goreng, oncom, bungkil kacang tanah, dan selai kacang tanah.
Namun, komoditi yang
mempunyai tingkat risiko tertinggi terkontaminasi aflatoksin adalah kacang
tanah beserta produk olahannya, seperti kacang goreng, sambal pecel, minyak goreng,
oncom, bungkil kacang tanah, dan selai kacang tanah, selain itu jagung, dan
biji kapas (cotton seed).
Aflatoksin seringkali
ditemukan pada tanaman sebelum dipanen. Setelah pemanenan, kontaminasi dapat
terjadi jika hasil panen terlambat dikeringkan dan disimpan dalam kondisi
lembab. Serangga dan tikus juga dapat memfasilitasi masuknya kapang pada
komoditi yang disimpan. Aflatoksin sering kali terdifusi masuk ke dalam tenunan
bagian-bagian dalam komoditi pertanian melalui rambut-rambut kapangnya. Dengan
demikian, biji, umbi, bungkil, dan bagian lain komoditi yang tercemari tidak
serta merta tampak oleh mata. Keberadaan aflatoksin dipengaruhi cuaca seperti
suhu dan kelembapan, sehingga tingkat kontaminasinya bervariasi tergantung
lokasi geografis, cara bertani, budi daya, dan kerentanan komoditi. Racun aflatoksin seperti
ochratoksin, sterigmatosistis, dan asam panisilat diproduksi lebih aktif pada
bahan yang mengandung karbohidrat tinggi (jagung, gandum, dan beras), kemudian
diikuti oleh bahan yang kaya lipid dan peptide (protein).
3.4.
Efek Aflatoksin
3.4.1. Efek
Aflatoksin Terhadap Kesehatan Manusia
Aflatoksin dapat
bersifat toksigenik, mutagenik, teratogenik, karsinogenik, dan immunosuppresif
pada hewan percobaan. Aflatoksin mendapat perhatian yang lebih besar daripada
mikotoksin lain karena memiliki potensi efek karsinogenik terhadap tikus uji
serta efek toksisitas akut terhadap manusia. Pada sejumlah spesies hewan,
aflatoksin dapat menyebabkan nekrosis akut, sirosis, dan karsinoma hati serta
berpotensi mempengaruhi sistem kekebalan tubuh. Tidak ada hewan yang resisten
terhadap efek toksik akut aflatoksin, oleh karena itu sangat logis jika
diasumsikan bahwa manusia juga mungkin dapat mengalami efek yang sama. Pada
kebanyakan spesies hewan, LD50 aflatoksin berkisar antara 0,5
hingga 10 mg/kg berat badan.
Pada tahun 1988, IARC
menggolongkan aflatoksin B1pada daftar karsinogen terhadap manusia.
Hal ini didukung dengan sejumlah hasil penelitian epidemiologi di Asia dan
Afrika yang menunjukkan hubungan positif antara diet aflatoksin dan kanker sel
hati (Liver Cell Cancer = LCC). Sebagai tambahan, timbulnya
penyakit yang berhubungan dengan aflatoksin pada manusia kemungkinan
dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti usia, status nutrisi, dan atau
paparan bahan lain, seperti virus hepatitis (HBV) atau infestasi parasit.
Aflatoksin mampu
menyebabkan penyakit dalam jangka panjang (kronis) dan penyakit jangka pendek
(akut) bergantung pada dosis dan frekuensi paparan aflatoksin. Salah satu efek
yang paling sering terjadi ialah kehilangan sintesis protein, termasuk sintesis
antibodi sesuai dengan dosis paparan.
Toksisitas akut
terjadi tak lama setelah mengonsumsi bahan makanan yang terkontaminasi racun
dengan dosis relatif besar dan yang terserang adalah hati, pankreas, serta
ginjal. Pada efek kronis, aflatoksin menyebabkan timbulnya kanker hati (hepatic
carcinoma). Secara umum konsentrasi aflatoksin dan akibat yang ditimbulkannya
dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Konsentrasi Aflatoksin dan Akibat
yang Ditimbulkan
Konsentrasi Aflatoksin
(ppb)
|
Efek yang Ditimbulkan
|
20
|
Level maksimal yang diijinkan
untuk manusia
|
50
|
Level maksimal yang diijinkan
untuk hewan
|
100
|
Pertumbuhan lambat pada usia
muda
|
200 – 400
|
Pertumbuhan lambat pada usia
tua
|
>400
|
Kerusakan hati dan kanker
|
Aflatoksin yang
dikonsumsi secara terus-menerus, walaupun dalam jumlah kecil, mampu menyebabkan
kanker hati, organ tubuh yang sangat penting dan juga berperan dalam
detoksifikasi aflatoksin itu sendiri. Data dari berbagai rumah sakit di
Indonesia menunjukkan ada 20% kasus kanker hati tidak menunjukkan kaitan dengan
infeksi hepatitis B maupun hepatitis C. Diduga Aflatoksin B1 memegang peran
sebagai faktor pemicu mutasi P53 gen sel hati yang seterusnya menimbulkan
kanker sel hati, timbul dugaan bahwa kasus kanker hati itu berhubungan dengan
senyawa karsinogen termasuk Aflatoksin B1 (Rasyid, 2006). Sampai saat ini obat yang diketahui
dapat menyembuhkan kontaminasi Aspergillus adalah amphotericin B (AmB) dan
itraconazole. Saat ini penggunaan voriconazole, posaconazole, dan caspofungin
juga telah diterima untuk pengobatan kontaminasi Aspergillus.
3.4.2. Aflatoksikosis
Keracunan akibat
mengkonsumsi pangan atau pakan yang tercemar aflatoksin disebut aflatoksikosis.
Beberapa negara, terutama negara dunia ketiga, seperti Taiwan, Uganda, dan
India telah melaporkan adanya bukti terjadinya aflatoksikosis akut pada
manusia. Di negara-negara maju, kontaminasi aflatoksin pada pangan jarang
terjadi pada tingkat yang dapat menimbulkan aflatoksikosis akut terhadap
manusia. Penelitian toksisitas paparan oral aflatoksin terhadap manusia
difokuskan pada potensi karsinogeniknya. Kerentanan relatif manusia terhadap
aflatoksin masih belum diketahui, meskipun pada studi epidemiologi di Afrika
dan Asia Tenggara, tempat dimana banyak terjadi insiden hepatoma, telah
ditemukan kaitan antara insiden kanker dengan kandungan aflatoksin dalam diet.
Hasil penelitian tersebut tidak membuktikan adanya hubungan sebab akibat,
tetapi dapat menjadi bukti adanya kaitan.
Masalah yang timbul jika mengonsumsi makanan
yang mengandung aflatoksin:
a.
Keracunan akut (aflatoksikosis),
dengan gejala mual, muntah, kerusakan hati hingga kematian pada
kasus serius
b.
Perkembangan anak dan pertumbuhan
janin terganggu.
c.
Metabolisme protein terganggu.
d.
Kekebalan tubuh menurun.
e.
Kanker hati
Pada manusia, kasus
aflatoksikosis sesungguhnya jarang dilaporkan, Tetapi kebanyakan kasus tidak
selalu dikenali sebagai aflatoksikosis. Kita patut curiga bahwa telah terjadi
aflatoksikosis jika ditemukan suatu penyakit yang menunjukkan karakteristik
sebagai berikut:
a.
Penyebab penyakit tidak dapat
segera teridentifikasi.
b.
Penyakitnya tidak menular.
c.
Penyebab penyakit diduga
diakibatkan oleh jenis pangan tertentu.
d.
Pemberian antibiotik atau obat
lainnya hanya memberikan sedikit pengaruh.
e.
Kejadiannya bersifat musiman
(kondisi cuaca dapat mempengaruhi pertumbuhan kapang).
Efek berat
aflatoksikosis pada hewan (yang diperkirakan bisa juga terjadi pada manusia)
dikategorikan ke dalam dua bentuk utama, yaitu aflatoksikosis akut (jangka
pendek) dan aflatoksikosis kronik (jangka panjang).
a)
Aflatoksikosis akut dapat
diakibatkan oleh konsumsi aflatoksin dalam tingkat sedang hingga tinggi.
Beberapa gejala umum aflatoksikosis adalah edema anggota tubuh bagian bawah,
nyeri perut, dan muntah. Secara spesifik, paparan akut aflatoksin dapat
menyebabkan perdarahan, kerusakan hati secara akut, edema, perubahan pada
pencernaan, dan kemungkinan kematian. Tertelannya aflatoksin dalam jumlah besar
umumnya terjadi di peternakan. Organ target aflatoksin adalah hati. Setelah
aflatoksin masuk ke hati, lipid menyusup ke dalam hepatosit dan menyebabkan
nekrosis atau kematian sel hati. Hal ini terutama disebabkan oleh metabolit
aflatoksin yang bereaksi secara negatif dengan protein sel lain, yang
menyebabkan penghambatan metabolisme karbohidrat dan lemak serta sintesis
protein. Akibat penurunan fungsi hati, terjadi gangguan mekanisme pembekuan
darah, ikterus (jaundice), dan penurunan protein serum esensial yang
disintesis oleh hati.
b)
Aflatoksikosis kronik disebabkan
oleh konsumsi aflatoksin dalam tingkat rendah hingga sedang. Efek yang
ditimbulkan biasanya bersifat subklinis dan sulit dikenali. Gejala
aflatoksikosis kronik dapat berupa penurunan laju pertumbuhan, penurunan
produksi susu atau telur, dan imunosupresi. Beberapa pengamatan menunjukkan
adanya karsinogenisitas, terutama terkait dengan aflatoksin B1.
Tampak jelas terjadinya kerusakan hati karena timbulnya warna kuning yang
menjadi karakteristik jaundice, serta timbul pembengkakan kandung
empedu. Imunosupresi disebabkan oleh reaktivitas aflatoksin dengan sel T,
penurunan aktivitas vitamin K, dan penurunan aktivitas fagositosis makrofag.
Pada hewan, efek imunosupresi akibat aflatoksin ini memberi kecenderungan
terkena infeksi sekunder dari jamur lain, bakteri, maupun virus.
3.4.3. Efek Aflatoksin Bagi Ternak
Hasil-hasil
penelitian (mani et al., 2001; muthiah et al., 1998) melaporkan bahaya
aflatoksin dan dampaknya terhadap hewan yaitu dapat menghambat peningkatan
bobot badan ternak unggas dan ruminansia, mengurangi produksi telur, menurunkan
respon imun (daya kekebalan tubuh ternak), jumlah kematian ternak tinggi,
mempengaruhi absorpsi unsur mineral Ca, Cu, Fe dan P, kerusakan organ hati
serta menyebabkan residu pada produk ternak, yang akan berbahaya bagi manusia.
3.5.
Upaya Pencegahan
Aflatoksin
Produksi pangan yang
benar-benar bebas mikotoksin merupakan hal yang sangat sulit dilakukan. Namun,
metode penyimpanan dan penanganan komoditi yang baik dapat meminimalkan
pertumbuhan kapang sehingga dapat menurunkan risiko pencemaran mikotoksin pada
produk pangan. Penyimpanan komoditi pangan tersebut sebaiknya di tempat yang
kering (kelembaban rendah) dan sejuk (lebih baik jika disimpan di freezer)
Untuk mengurangi masuknya aflatoksin ke dalam
tubuh melalui pangan, sangat bijaksana jika konsumen bersikap selektif terhadap
pangan yang akan dikonsumsinya, antara lain dengan menghindari mengkonsumsi
pangan yang telah berjamur, telah berubah warna, telah berubah rasa atau
tengik.
Upaya menghindari
pertumbuhan mikrobia pada bahan pakan bisa dilakukan dengan jalan menjaga
kelembaban yang rendah, kurang dari 80% sehingga pertumbuhan fungi akan
terhambat. Hindari suhu optimum untuk pertumbuhan fungi A. Flavus maupun A.
parasiticus, yaitu 25 – 40 oC. Penyimpanan dalam keadaan
kering, kira-kira kadar air 10-12% terhadap bahan pakan sangat
dianjurkan.
Pemilihan bahan pakan
yang baik dan utuh, terhindar dari kelukaan atau kerusakan oleh serangan hama
harus ditegakkan, karena serangan serangga merupakan predisposisi bagi
pertumbuhan fungi pada bahan pakan tersebut. Pada jagung yang terserang
serangga menunjukkan kandungan aflatoksin hampir 90%. Hindari pH 5,5 – 7,0 yang
optimum untuk pertumbuhan A. Flavus.
Seluruh pihak yang
berkepentingan (stakeholder) perlu mengetahui tingkat cemaran aflatoksin
melalui pengujian aflatoksin pada komoditi bahan pangan dan pakan yang menjadi
komoditas perdagangan. Berbagai upaya telah dilakukan untuk mencegah
kontaminasi aflatoksin, tetapi hal ini masih tetap menjadi masalah. Berbagai
negara telah mencoba membatasi paparan aflatoksin dengan mengeluarkan peraturan
batasan kadar aflatoksin pada komoditi yang akan digunakan sebagai makanan dan
pakan. Food and Drug Administration di Amerika Serikat, misalnya, memberi
batasan kadar aflatoksin maksimum 20 ppm pada makanan dan pakan, termasuk produk-produk
kacang tanah.
3.6.
Upaya Mendiagnosis
Aflatoksin
Adapun upaya mendiagnosis aflatoksin, yaitu sebagai berikut :
3.6.1. Teknologi
Deteksi Aflatoksin
Teknologi deteksi
aflatoksin secara kuantitatif, teknik kromatografi cair kinerja tinggi (KCKT) merupakan
cara pendeteksian yang umum digunakan dan merupakan metode konfirmasi.
Sedangkan metode semi kuantitaf aflatoksin adalah kromatografi lapis tipis
(KLT) dan Enzyme Linked Immunoassay (ELISA), telah pula
dikembangkan di laboratorium Bbalitvet. Saat ini laboratorium Toksikologi
Bbalitvet telah dapat menentukan cemaran aflatoksin untuk kepentingan
penelitian maupun pengujian diagnostik dengan KCKT (Kromatografi Cair Kinerja
Tinggi) atau HPLC (High Pressure Liquid Chromatography) dengan detektor
fluoresen, dimana metoda deteksi ini memerlukan tahapan derivatisasi untuk
mengubah aflatoksin menjadi senyawa berfluoresensi kuat, serta teknik ELISA (rachmawati,
2005). Analisis aflatoksin pada pakan dan bahan pakan dengan kedua metoda
tersebut (HPLC dan ELISA) telah masuk ruang lingkup terakreditasi berdasar ISO
guide 17025.
Telah pula
dikembangkan teknik deteksi menggunakan LCMS dapat memotong tahapan derivatisasi
dan memberikan hasil konfirmasi yang lebih akurat dan diharapkan lebih
sensitif. Untuk teknologi deteksi secara ELISA telah dapat dirakit berupa kit
yang dapat di suplai ke para pengguna, sehingga laboratorium lain dalam ruang
lingkup kegiatan yang hampir sama dapat melakukan analisis aflatoksin pada
laboratoriumnya.
Analisis menggunakan
kit ELISA lebih disukai, karena dapat menganalisis sampel dalam jumlah banyak
dalam satu waktu analisis dan ekstraksi sampel lebih sederhana, sehingga waktu
analisis lebih cepat. Meskipun kit serupa produksi luar negeri tersedia di
Indonesia (kit impor), namun kit hasil pengembangan Bbalitvet dapat diperoleh
di dalam negeri dengan harga relatif murah (3 kali lebih murah) (rachmawati,
2005). Metode analisis aflatoksin secara ELISA dapat dikembangkan lebih lanjut
untuk keperluan lapang, seperti ELISA dipstick atau ELISA test strip. Namun
demikian baik metode ELISA maupun kromatografi untuk analisis aflatoksin, dapat
lebih luas dikembangkan untuk aplikasi dalam matrik bahan pertanian lain
ataupun makanan (rachmawati, 2006).
4.6.2. Teknik Dekontaminasi
Upaya menekan
kandungan aflatoksin dapat dilakukan dengan menggunakan cendawan Neurospoa
sp. dan Rhizopus sp. Selanjutnya untuk menghindari
serangan cendawan A. Flavus pada jagung dapat dilakukan dengan
sesegera mungkin menjemur tongkol jagung yang sudah dipanen sampai kadar air
17%, lalu dipipil dan dikeringkan lagi sampai kadar air 11% kemudian disimpan.
Pada kondisi kadar air rendah pada biji jagung, maka tidak terserang cendawan A.
Flavus. Upaya lain adalah penggunaan bahan kimia yaitu ammonia dan asam
propionate dapat negurangi jumlah spora yang menempel pada jambul jagung,
sehingga mengurangi sumber inokolum untuk infeksi di penyimpanan.
Upaya untuk mengatasi mikotoksin adalah dengan ekstraksi menggunakan
pelarut organik, antara lain dengan kalsium klorida atau sodium bikarbonat atau
dengan pemanasan dalam air garam. Penggunaan amonia atau monometylamine dan
kalsium hidroksida juga efektif dalam mengatasi toksin tersebut. NaOCl bisa
digunakan untuk dekontaminasi pada kacang tanah, formaldehid dan NaOH pada
tepung kacang. Perendaman atau pencelupan kacang tanah dalam p-amino benzoat,
kalium sulfit, kalium fluorida, ammonia 2%, asam propionat, Na-asetat, dan H2O2.
Detoksifikasi dengan ammonia terhadap aflatoksin adalah sangat praktis dan
mudah, sehingga banyak dipraktekkan.
Toksin dapat juga dihancurkan dengan pemanasan, misal penggarangan kacang
tanah pada suhu 150oC selama 30 menit akan mengurangi aflatoksin B1 sebanyak
80% dan aflatoksin B2 sebanyak 60%. Penggorengan dengan minyak
pada kacang tanah pada suhu 204oC akan mengurangi kadar aflatoksin B1 dan
G1 rata-rata 40 -50%, sedangkan aflatoksin B2 dan
G2 akan menurun sebanyak 20 – 40%. Aflatoksin dianggap stabil
terhadap pemanasan, karena pada pemanasan normal (100oC) tidak
menyebabkan perubahan. Demikian pula trikhotesen, zeralenon, khloratoksin dan
patulin. Sedangkan sitrinin mudah dirusak oleh pemanasan. Pemanasan bertekanan
(autoklaf) dapat juga mengurangi kadar aflatoksin. Pada autoklaf suhu 120oC
bertekanan 15 lbs selama 4 hari pada tepung kacang dengan kelembaban 60% akan
menurunkan kadar aflatoksin dari 7.000 mg/kg menjadi 340 mg/kg. Penyinaran
dengan sinar ultra violet selama 45 detik bisa menghancurkan spora A.
Flavus. Akan tetapi penyinaran ini juga menyebabkan berkurangnya
zat-zat gizi dalam bahan pakan.
Bahan-bahan kimia tertentu, seperti diklorvos akan menghambat pembentukan
aflatoksin pada gandum, jagung, beras dan kacang tanah. Pencegahan aflatoksin dapat dilakukan dengan penggunaan feed aditiv yang
dicampurkan dalam bahan pakan , sehingga secara in vivo feed aditiv ini akan
aktif melawan mikotoksin. Beberapa mineral dapat memiliki kemampuan
mengabsorbsi atau menangkap molekul mikotoksin sehingga tidak berbahaya bagi
ternak. Beberapa zat yang dapat bertindak sebagai feed aditiv antara
lain activated charcoal, yeast produk dinding sel. Beberapa
produk sintetik dapat digunakan, antara lain zeolit, aluminosilikat dan
Gamma Amino Butiric Acid (GABA). Zeolit aktif melawan aflatoksin T2.. Penambahan
zeolit 2% sebanyak 1mg/kg bahan pakan terkontaminasi aflatoksin
B1 akan menurunkan kadar aflatoksin dalam hati sampai 30-40%.
3.7.
Langkah Penanganan
Berikut merupakan
beberapa langkah penanganan Aflatoksin, yakni :
1.
Melakukan peningkatan manajemen
bercocok tanam, penggunaan varietas tanaman tahan serangan kapang toksigenik
pada proses pra panen, serta pemilihan terhadap bahan pangan yang berkualitas
baik dan tidak berkapang.
2.
Mendidik petani, pedagang
pengumpul, grosir, pengecer, industri pangan dan pakan mengenai cara penanganan
pasca panen kacang tanah dan jagung yang baik, melalui media berupa brosur,
artikel pada majalah ilmiah populer, dan lain-lain.
3.
Melakukan monitoring terhadap
kadar aflatoksin pada pangan dan pakan secara kuantitatif dan semi kualitatif
pada berbagai tahapan.
4.
Melakukan survei yang lebih luas
dan terpadu terhadap kontaminasi aflatoksin pada berbagai bahan pangan dan
pakan di berbagai daerah (kabupaten, provinsi) di Indonesia.
5.
Menangani masalah aflatoksin
dengan koordinasi berbagai pihak meliputi pemerintah, produsen, konsumen,
praktisi, akademisi dan peneliti.
6.
Mendistribusikan informasi yang
diperoleh dari laporan ini kepada penyuluh pertanian, importir, grosir, dan
pengecer kacang tanah, serta industri pangan dan pakan yang berbahan baku
kacang tanah dan jagung.
7.
Mendidik konsumen untuk dapat
mengenali dan tidak mengonsumsi kacang tanah yang tercemar aflatoksin dengan
ciri biji berwarna coklat kehijauan hingga kehitaman, dan berasa pahit.
BAB IV. SIMPULAN
4.1.
Kesimpulan
Adapun kesimpulan
yang dapat kita ambil dari makalah ini adalah sebagai berikut :
1.
Aspergillus flavus dan Aspergillus
parasiticus merupakan bagian grup
Aspergillus yang sudah sangat
dikenal karena peranannya sebagai patogen pada tanaman dan
kemampuannya untuk menghasilkan aflatoksin pada tanaman yang terinfeksi.
2.
Aflatoksin dapat dijumpai pada
berbagai bahan pangan, misalnya jenis serealia (jagung, sorgum, beras, gandum),
rempah-rempah (lada, jahe, kunyit), kacang-kacangan (almond, kacang tanah),
susu (jika ternak mengkonsumsi pakan yang terkontaminasi aflatoksin), termasuk
produk pangan yang terbuat dari bahan-bahan tersebut, seperti roti dan selai
kacang.
3.
Keracunan akibat mengkonsumsi
pangan atau pakan yang tercemar aflatoksin disebut aflatoksikosis.
4.
Metode penyimpanan dan penanganan
komoditi yang baik dapat meminimalkan pertumbuhan kapang sehingga dapat
menurunkan risiko pencemaran mikotoksin pada produk pangan.
5.
Upaya
mendiagnosis aflatoksi yaitu dengan menggunakan teknologi deteksi aflatoksin dan
teknik dekontaminasi.
4.2.
Saran
Adapun saran yang
dapat penulis berikan adalah agar pembaca lebih memperhatikan teknik
penyimpanan bahan bahan dengan baik dan benar agar dapat membantu meminimalkan
terjadinya kontaminasi mitotoksin pada produk pangan.
DAFTAR
PUSTAKA
Amaike, S. and
N.P. Keller. 2011. Aspergillus flavus. Ann. Rev. of Phytopath. 49, 107–133.
Horn, B.W., R.L.
Greene, and J.W. Dorner. 2000. Inhibition of aflatoxin B1 production by
Aspergillus parasiticus using nonaflatoxigenic strains: role of vegetative
compatibility. Biological Control, 17, 147–154.
Lanyasunya,
T.P., L.W. Wamae, H.H. Musa, O. Olowofeso, and I.K. Lokwaleput. 2005. The risk
of mycotoxins contamination of dairy feed and milk on smallholder dairy farms
in Kenya. Pakistan Journal of Nutrition 4 (3): 162-169.
Lewis, L., M.
Onsongo, H. Njapau, H. Schurz-rogers, G. Luber, S. Kieszak, J. Nyamongo, L.
Backer, A.M. Dahiye, A. Misore, K. Decock, and C. Rubin. 2005. Aflatoxin
contamination of commercial maize products during an outbreak of acute
aflatoxicosis in Eastern and Central Kenya. Environ. Health Perspect, 113.
Aini,nurul.
2012. Aflatoksin Cemaran dan Metode Analisisnya Dalam Makanan. Jurnal Kefarmasian Indonesia. 2, 54-61.
Wrather, J.A.
and L.E. Sweet. 2006. Aflatoxin in Corn. Jefferson City: Delta Research Center.
Missouri Agricultural Experiment Station. MU College of Agriculture, Food and
Natural Resource.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar